Sumber energi biodiesel berbahan baku crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah sangat potensial menggantikan solar, baik dari segi ekonomis maupun lingkungan.
Kelangkaan BBM yang kini terjadi hendaknya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menyiapkan kebijakan yang mendukung penggunaan biodiesel.
Arie mengungkapkan, hingga kini pihaknya belum mendapat dukungan penuh pemerintah dalam mengaplikasikan biodiesel sebagai sumber energi pengganti fosil. Padahal, penelitian biodiesel yang dilakukan BPPT telah mencapai tahap final. Kesimpulannya, biodiesel layak dijadikan sebagai sumber energi pengganti solar. Harga biodiesel mendekati harga solar sebelum disubsidi yaitu Rp5 ribu - Rp6 ribu per liter. Selain itu dampak positif biodiesel bagi lingkungan, mengurangi tingkat emisi hingga 70%.
"Sejak dua tahun lalu, kami sudah selesai dengan penelitian ini, bahkan di lingkungan internal BPPT, kami sudah mengaplikasikannya. Bus dan mobil karyawan BPPT sudah menggunakan biodiesel. Kini tinggal menunggu lampu hijau berupa kebijakan yang mendukung produksi hingga distribusi biodiesel," kata Arie.
Makmuri menjelaskan, persoalan utama yang masih mengganjal penggunaan biodiesel berpangkal pada harganya yang dinilai belum kompetitif. Harga biodiesel Rp5 ribu-Rp6 ribu memang masih berada di atas kisaran harga solar di pasaran yang hanya Rp2.100.
Namun, Makmuri mengingatkan, harga solar sebelum subsidi tak jauh berbeda dengan biodiesel.
Dengan begitu, kata Makmuri, jika pemerintah tetap ingin menekan harga solar, subsidi dapat saja dialihkan pada biodiesel.
"Persoalan ekonomis tidaknya biodiesel ini terpaku pada subsidi yang diberikan pemerintah. Selain tentunya kebijakan lain seperti penciptaan kebun-kebun sawit baru untuk menghasilkan bahan baku biodiesel yaitu Crude Palm Oil atau CPO," kata Makmuri.
Hal senada diungkapkan Arie. Saat ini Indonesia baru dapat menghasilkan 10 juta ton CPO yang 60%nya dilempar ke pasar ekspor. Padahal, potensi lahan sawit di Indonesia masih sangat luas. Jika lahan gundul yang kini luasnya mencapai 50 juta hektare dimanfaatkan secara optimal dengan ditanami sawit, kebutuhan solar nasional dapat dipenuhi seluruhnya dari biodiesel.
Persoalannya sekarang, kata Arie, di sektor hulu yang mencakup produksi CPO sebagai bahan baku diesel masih terdapat sejumlah persoalan. Selain harus membuka lahan kebun sawit baru, pemerintah harus menjamin intensifikasi penanaman sawit tidak akan menjatuhkan harga CPO Indonesia.
"Jelas akan ada resistensi dari pemain sawit lama, karena jika kebun dibuka lebih luas, harga bisa jatuh. Padahal banyak nama perusahaan global yang kini bermain di sektor ini, selain juga para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)," kata Arie.
Sebagai solusi, lanjut Arie, pemerintah harus dapat memberikan jaminan bagi pengusaha kelapa sawit jika nantinya pembukaan lahan besar-besaran jadi dilakukan. Selain juga, pemberian dukungan dana. Pasalnya untuk mengusahakan satu hektare kebun kelapa sawit dibutuhkan dana tak kurang Rp15 juta dengan masa tunggu hingga panen selama lima tahun.
Di sektor hilir yang melibatkan pengolahan dan distribusi, hanya dibutuhkan sarana pabrik pengolahan CPO. Pasalnya, biodiesel memiliki karakteristik yang sama dengan solar. Biodiesel dapat dijual di SPBU konvensional dan digunakan setiap kendaraan pengguna solar. Konsumen tidak perlu mengubah mesinnya saat ingin menggunakan biodiesel.
"Mengingat perlunya persiapan khusus, tampaknya biodiesel memang menjadi solusi jangka panjang. Namun, momentum kelangkaan inilah yang kita harap dapat menggugah kesadaran pemerintah maupun publik untuk mulai berbuat dari sekarang," kata Arie.
Agus Kismanto, yang telah melakukan penelitian penggunaan biodiesel di dunia menegaskan, Indonesia sebenarnya tertinggal jauh dibandingkan Thailand dan Malaysia. Kedua negara yang memiliki lahan sawit lebih kecil dibandingkan Indonesia itu sejak beberapa tahun lalu telah mengaplikasikan biodiesel. Selain menjaga lingkungan, juga untuk memajukan agro bisnis kelapa sawit di negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar